Kalau nama Mataram, setidaknya sudah ada dalam benak kami. Tapi Lombok sambil menggelengkan kepala, Dato Tengku Putra Tengkung Awang, Timbalan Menteri Perbendaharaan Kerajaan Malaysia, mengatakan kepada Kompas saat acara makan malam rombongan promosi pariwisata di Nusa Tenggara Barat.
Agaknya nama Pulau Lombok apalagi etnis Sasak sebagai penduduk asli pulau itu tidak tercatat dalam benak warga Malaysia pada umumnya. Dari pejabat hingga warga biasa, Lombok mungkin adalah negeri antah-berantah. Kalangan tertentu lebih mengenal Kota Mataram, ibu kota Provinsi NTB saat ini.
Mataram yang dikenal Yang Berhormat Dato Tengku Putra malah bukan nama kota yang ada di Pulau Lombok tadi. Bagi Dato Tengku Putra, Mataram yang ia kenal adalah nama sebuah kerajaan di Pulau Jawa, yang pada abad ke-11 dan 12 kemasyhurannya terekam sampai negeri seberang, bahkan dijadikan salah satu materi pendidikan tingkat sekolah menengah pertama di sana.
Sejarah masa silam Lombok dan etnis Sasak belum terungkap secara jelas. Keringnya referensi dan belum adanya penelitian ilmiah tentang Lombok, boleh jadi penyebab jejak tapak sejarah Lombok tidak banyak diketahui. Wajar bila Solichin Salam dalam buku Lombok Pulau Perawan menuliskan, Tidak begitu banyak dapat diketahui mengenai Lombok sebelum abad ke-17.
Referensi yang ada berupa cuplikan, legenda, mitos, dan naskah lontar yang tentunya masih perlu dikaji secara ilmiah. Namun, dari bukti-bukti etnografi yang sederhana, temuan barang-barang dan situs-situs arkeologis di beberapa tempat mungkin bisa jadi gambaran sepintas keberadaan etnis Sasak.
Misalnya hasil pantauan awal Nasruddin dan Dubel Driwantoro, keduanya arkeolog bidang prasejarah pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang menemukan artefak paleolitik (900.000 tahun lalu) di Desa Sengkere, Desa Pelambek, Lombok Tengah, 24 Februari 2000. Temuan itu berupa subfosil tulang kering (tibia) kerbau purba, serut tipe tapal kuda, kapak berimbas, kapak penetak, peralatan serpih, dan lainnya dengan bahan batuan basal dan marmer. Tinggalan sumber daya arkeologis itu tergolong tua, diduga dari masa plestosen atas dan tengah (400.000-100.000 tahun lalu).
Sebelumnya, tahun 1976, dari hasil ekskavasi di Gunung Piring, Desa Teruwai, Lombok Tengah, ditemukan sejumlah peralatan untuk prosesi pemakaman dan tulang paha yang hidup pada abad ke-4 Masehi. Alat itu antara lain sebuah kendi diletakkan pada bagian kaki jasad manusia yang dikuburkan itu.
Kemudian, pada abad ke-5 hingga abad ke-6 terjadi gelombang migrasi dari Pulau Jawa ke Bali terus ke Lombok, menyusul runtuhnya Kerajaan Daha dan Kalingga. Dari penelitian Rulof Goris, dikatakan bahwa alat transportasi laut yang dipakai menyeberang oleh para migran dari dan ke Lombok disebut sak-sak (rakit bambu). Mendalami kata itu pula, A Teeuw ahli sastra Indonesia dari Belanda menduga kata sasak muncul dari kebiasaan masyarakat Lombok masa itu yang memakai ikat kepala berbahan tembasak (kain putih). Bisa jadi sasak itu diambil dari suku kata terakhir tembasak: sak. Lewat proses pengulangan, bentuk sak-sak lalu jadi sasak.
Sak-sak dalam bahasa Sasak bermakna apa pun, atau bisa diterjemahkan bahwa apa pun yang menyatu, tumbuh dan berkembang adalah milik dan identitas bersama guna membangun komunitas kultural. Ini bukti kesadaran plural atau multikultural telah tumbuh sejak dini di Lombok, kata M Yamin, pemerhati budaya Sasak.
Tampaknya, senada dengan JCHaar pengamat pertenunan Lombok tahun 1925, bahwa Sasak tumbuh dari etnis yang majemuk, baik kependudukan, agama, ras yang datang menetap dari kawasan barat dan timur. AR Walace mengatakan, orang Sasak dapat dikelompokkan sebagai turunan Melayu.
Indikasi itu disebutkan Ahmad JD pemerhati budaya Sasak lainnya ”dengan adanya Kampung Jawa, Kampung Banjar, Kampung Melayu, atau Kampung Arab yang berada di kota-kota provinsi/kabupaten di Pulau Lombok, selain Kampung Manggarai (kini Desa Kerumut Pohgading, Lombok Timur), Kampung Tanjung Luar (Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, dominan penduduknya suku Bajo, Salayar), Kampung Pemenang (nama desa dan kecamatan di Lombok Barat). Para penghuninya kini melebur menjadi orang Sasak-Lombok, walau mereka masih mempertahankan beberapa aspek tanah leluhur-nya.
Sejak abad ke-11
Sekitar abad ke-11, sebuah tong-tong perunggu berangka tahun 1077 Masehi ditemukan di Desa Pujungan, Tabanan, Bali, yang ditulis setelah kekuasaan Raja Anak Wungsu di Bali. Nekara itu bertuliskan huruf kuadrat berbunyi Sasak Dana Prihan Srih Jaya Nira, yang artinya bahwa benda ini adalah pemberian dari orang-orang Sasak. Artinya, nama Sasak dan Lombok sudah ada jauh sebelum abad ke-11, atau setidaknya sudah dikenal secara tertulis pada abad ke-11.
Pada abad ke-14, ekspedisi Kerajaan Majapahit yang menguasai seluruh Nusantara tampaknya singgah pula di Lombok. Dalam buku Negarakretagama karya Mpu Prapanca disebut, Lombok Mirah Sasak Adinikalun. Diduga itu sebutan untuk pulau dan etnis di sana. Adanya Pedewa di Gunung Pujut, Lombok Tengah, sekelompok orang di Desa Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, yang mengaku keturunan Majapahit, adalah gambaran kedatangan rombongan dari kerajaan pimpinan Raja Hayam Wuruk itu.
Adanya pertunjukan wayang lelendong (wayang kulit) dan wayang wong (orang), perangkat gamelan berupa gendang, kemong, gong di Lombok seperti dikenal di Jawa dan Bali diduga oleh Parimartha, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, merupakan menebarnya pengaruh Jawa (Majapahit) di Lombok. Mengacu pendapat Goris, Parimartha mengatakan, pengaruh Jawa masuk Lombok tahun 1350-1500 Masehi.
Kdatangan para migran yang disertai infiltrasi agama Syiwa-Buddha dan Hindu-Buddha ke Lombok, mungkin karena keberadaan atau mitos Gunung Rinjani (kini tingginya 3.726 meter) yang dianggap tempat suci. Rinjani yang dikuasai tokoh abadi Dewi Anjani, bersama Agung di Bali dan Semeru (Jatim) adalah wujud serpihan Gunung Himalaya di India. Semeru adalah bagian dasarnya, Agung bagian tengah, dan Rinjani puncaknya. Karenanya, bila ada upacara di Pura Besakih, Bali, harus ada tirta dari tiga gunung itu sebagai syarat peranti acara.
Setelah itu Kerajaan Karangasem menguasai Pulau Lombok (1691-1894), disusul Belanda dan Jepang, yang kemudian memengaruhi kehidupan sosial politik, sosial budaya, tradisi, kesenian, arsitektur hingga sektor agraris, selain persoalan sosial terhadap penduduk lokal. Misalnya, istilah keliang (di tingkat dusun atau gubug), pembekel (kepala desa), punggawa (camat), selaku pembantu raja, adalah model birokrasi yang dikembangkan pihak kerajaan masa itu.
Bangunan sosial budaya, politik dan lainnya itu mungkin membuat rakyat lokal terpinggirkan oleh berbagai tekanan dari pemerintah masa itu. Sebab, mereka hanyalah abdi dalem, yang manut dan patuh menjalankan titah sang penguasa. Dalam kehidupan serba tertekan, rakyat diam-diam membangun solidaritas dan partisipasi dalam lingkungan komunalnya untuk bertahan hidup.
Tetapi sudahlah, itulah sejarah yang mestinya dipahami dan diakui sebagai perjalanan sebuah puak. Kini terpulang kepada jajaran pemerintah dan masyarakat di Lombok untuk mau belajar dari sejarah, sebagai acuan sekaligus alat kontrol menghadapi dan menyiasati arus deras peradaban modern yang penuh paradoks.
Sumber : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar