ARUP alias Amaq Rani (39) mungkin bisa disebut sosok yang lahir dari gerakan reformasi yang membuka keran bagi kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Warga Dusun Gerupuk, Desa Sengkol, Pujut, Lombok Tengah, NTB, ini mengekspresikan kemerdekaan berpikir dan berpendapatnya selaku “dalang wayang alternatif”.
Dalam wayangnya, para tokoh dan kelampan (lakon) berbeda dengan wayang tradisi Sasak Lombok. Setting cerita adalah problema masyarakat di obyek wisata Kute dan Tanjung An. Di kawasan yang bertetangga dengan Dusun Arup itu ribuan penduduk kehilangan tanah. Lahan dibebaskan dengan kekerasan untuk kepentingan pariwisata. Arup pun terpaksa melepas tanahnya seluas 0,50 hektar untuk keperluan yang sama.
Sebagai wujud pembelaan atas nasib rakyat di wilayah itu, Arup menciptakan para tokoh imajiner atau korban yang “diambil” tanahnya oleh perusahaan pengelola kawasan: PT PPL (Pembangunan Pariwisata Lombok) atau LTDC (Lombok Tourism Development Coorporation)-badan usaha bentukan Pemda NTB dan PT Rajawali Wira Bhakti.
Diperkuat 10 anggota, penonton pagelaran wayang Arup dibiarkan ikut berpartisipasi dengan dalang. Ini mirip penonton pertunjukan Lenong Betawi di mana penonton turut berdialog dengan pemain. Bahkan atas perintah penonton, kelampan yang sedang dimainkan Arup-misalnya lakon-lakon wayang tradisi-bisa diganti kelampan lain.
“Penonton sukanya kelampan demo (demonstrasi),” ujar Arup yang hanya mengenyam kelas I sekolah dasar. Kelampan demo, dalam wayang tradisi masuk adegan rerencekan, yang isinya banyolan-banyolan atau pesan pembangunan. Namun, Arup menarik rerencekan ke depan sebagai cerita utama, yang sekaligus kekhususan “wayang alternatif”-nya.
***
KAWASAN Kute dan sekitarnya merupakan daerah wisata di Lombok Tengah. Tahun 1990, PPL dengan masa kontrak 70 tahun (dengan Pemda NTB memegang saham 30 persen) membebaskan tanah guna membangun prasarana dan sarana untuk wisatawan di situ.
Para calo dan broker tanah bermunculan. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme dari oknum pejabat tingkat I NTB dan tingkat II Lombok Tengah tidak terhindarkan. Apalagi dalam LTDC itu ada saham milik Keluarga Cendana.
Pengalihan hak atas tanah (1.250 hektar) dilakukan secara paksa dan tidak luput dari intervensi pejabat teras. Menolak lahan dibebaskan, berarti harus menghadapi berbagai intimidasi yang dilakukan nyaris semua lini pemerintahan.
Intervensi penguasa itu membuat mereka terpaksa melepas tanah, walau dengan harga pembebasan jauh dari standar. Akibatnya para pemilik tanah, petani rumput laut, dan nelayan tergusur dari lahan tambang nafkahnya. Mereka memang sempat berdemonstrasi ke Kantor Gubernur NTB dan DPRD NTB di Mataram, namun hasilnya sia-sia. Yang terjadi adalah proses pemiskinan, dan itulah setting sosial wayang Arup.
***
KAPAN wayang dikenal di Lombok, belum diketahui pasti. Sumber yang ada sebatas mitologi. Alkisah pada abad XIV-XV, terjadi kemarau panjang selama tujuh tahun. Pohon meranggas, rumput mengering, tanah sawah gersang dan merekah dibakar terik kemarau. Keadaan berubah tatkala muncul seorang lelaki berpakaian serba putih yang dalam mitologi disebut Raden Sangupati, yang kemudian membagi-bagikan obat-obatan pada penduduk.
Itu terjadi setelah penduduk mengucapkan Kalimah Syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Tetapi, dari telusur pustaka, ada pula yang mengatakan, wayang di Lombok konon sudah ada sebelum Sunan Prapen datang menyiarkan Islam tahun 884 Hijriah/1464 M ke sana.
Ilustrasi itu setidaknya menggambarkan bahwa wayang merupakan kesenian rakyat yang telah dikenal luas di Lombok. Sejumlah tulisan menyebut-kan bahwa sumber cerita wayang Sasak dari Serat Menak, yang juga dipakai dalam wayang golek. Sedang wayang Jawa dan Bali umumnya memakai Mahabharata dan Ramayana sebagai sumber cerita.
Lakon wayang Sasak biasanya ber-nuansa Islam, seperti Kelampan Yunan, Bangbangri, Jenglengge, Kabar Sundari, Gendit Birayung, dan lain-lain. Ini diperkuat oleh para tokohnya (wayang kanan) seperti Amir Hamzah atau populer disebut Wong Menak. Di masa lampau, wayang merupakan media dakwah dan hiburan, meski dalam perkembangannya berfungsi sebagai sarana hiburan, penyuluhan. Juga untuk meramaikan hajatan seperti acara sunatan, pesta perkawinan, membayar kaul, dan semacamnya.
Bila penonton wayang Jawa menyaksikan pagelaran dari arah belakang dalang dan grup penabuh, maka penonton wayang sasak berhadapan dengan ranggon (panggung). Bagian depan ranggon terdapat kelir (layar), dan labakan atau lampu.
Jumlah wayang Sasak tidak kurang dari 400 lembar (terbuat dari kulit binatang). Pementasannya diperkuat dua orang pengabih, yang membantu mengambil wayang yang akan dan sudah dimainkan. Ada tujuh penabuh yang memainkan instrumen suling, gendang (lanang-wadon), rincik (alat ritmik), kempul, kenot, dan kajar (sejenis reong).
***
RUP tidak mesti mengubah total tata cara pertunjukan wayangnya. Walau harus memainkan kelampan demo, ia tetap menyampaikan pengaksema-semacam ucapan perkenalan (pendahuluan), sekaligus mengutarakan kelampan dengan bahasa Jawa Madya.
Dalam pengaksema inilah disampaikan kelampan yang dipilih: wayang tradisi ataukah cerita aktual semacam kelampan demo tadi. Tidak jarang kelampan bisa diganti di tengah jalan. “Saya sedang memainkan kelampan Junglengge, penonton berteriak supaya diganti dengan kelampan demo,” ujar Arup. Penonton pun bengak-bengok manakala jalan cerita dinilai kurang pas, dan Arup menanggapinya untuk meluruskan jalan cerita versi penonton.
Dialog demikian tidak ditemukan dalam wayang tradisi, dan di sinilah kekuatan Arup berkesenian. “Wayang adalah media komunikasi antara dalang dan penonton. Bila terjadi komunikasi antarkedua pihak, maka pesan yang disampaikan dalang nyambung dengan khalayak penonton. Adanya dialog inilah satu wujud berkesenian,” Ida Wayan Pasha, pemerhati Budaya Sasak Lombok, mengomentari kiprah Arup.
Penampilan grup wayang Arup dan kawan-kawan terkesan memprihatinkan. Kenot dan kajar bukanlah terbuat dari bahan kuningan dan logam, melainkan hanya sebuah piring makan berbahan seng yang tiap kali pentas bisa dipinjam pada tuan rumah (pengundang).
Kempol (gong)-nya terbuat dari bagian penutup drum bekas, yang dipakai buruh tani merontokkan padi (ngerampek). Wayangnya, yang berjumlah sekitar 70 lembar berupa kardus dan bungkus (pak) rokok dibuat dan disunggingnya sendiri dengan pisau yang biasa digunakan meraut bambu. Wayang itu lalu dicat agar menjadi keras.
Arup agak lega karena telah memiliki kelir cukup bagus sumbangan sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat. Kelir yang digunakan semula adalah kain sprei layak pakai yang beberapa bagiannya harus ditambal karena sudah bolong.
Selain tokoh-tokoh wayang tradisi, Arup juga memiliki tokoh imajiner yang dibuatnya sendiri seperti tokoh Gubernur NTB, Ketua DPRD NTB, Ketua BP7, kelompok demonstran, sosok polisi, tentara, Kantor Gubernur NTB dan DPRD NTB, para tokoh LSM, di samping Inaq Maryam, Inaq Janum, Amaq Mai, dan sejenisnya.
Arup, ayah seorang anak ini, agaknya tanpa disadari tampil sebagai “pembaru” dalam seni pewayangan Sasak Lombok. Bukan saja karena dia termasuk korban dari proses marginalisasi, melainkan juga idealismenya yang mendorongnya berontak. Darah seni membuatnya lebih peka melihat proses peminggiran rakyat akibat pembangunan.
Arup yang nyaris buta huruf latin, tidak bisa menulis-membaca huruf Jejawan (turunan Hanacaraka), dan dengan peralatan serba amat sederhana, bisa berbuat sesuatu bagi kesenian.
Sumber : Kompas
Dalam wayangnya, para tokoh dan kelampan (lakon) berbeda dengan wayang tradisi Sasak Lombok. Setting cerita adalah problema masyarakat di obyek wisata Kute dan Tanjung An. Di kawasan yang bertetangga dengan Dusun Arup itu ribuan penduduk kehilangan tanah. Lahan dibebaskan dengan kekerasan untuk kepentingan pariwisata. Arup pun terpaksa melepas tanahnya seluas 0,50 hektar untuk keperluan yang sama.
Sebagai wujud pembelaan atas nasib rakyat di wilayah itu, Arup menciptakan para tokoh imajiner atau korban yang “diambil” tanahnya oleh perusahaan pengelola kawasan: PT PPL (Pembangunan Pariwisata Lombok) atau LTDC (Lombok Tourism Development Coorporation)-badan usaha bentukan Pemda NTB dan PT Rajawali Wira Bhakti.
Diperkuat 10 anggota, penonton pagelaran wayang Arup dibiarkan ikut berpartisipasi dengan dalang. Ini mirip penonton pertunjukan Lenong Betawi di mana penonton turut berdialog dengan pemain. Bahkan atas perintah penonton, kelampan yang sedang dimainkan Arup-misalnya lakon-lakon wayang tradisi-bisa diganti kelampan lain.
“Penonton sukanya kelampan demo (demonstrasi),” ujar Arup yang hanya mengenyam kelas I sekolah dasar. Kelampan demo, dalam wayang tradisi masuk adegan rerencekan, yang isinya banyolan-banyolan atau pesan pembangunan. Namun, Arup menarik rerencekan ke depan sebagai cerita utama, yang sekaligus kekhususan “wayang alternatif”-nya.
***
KAWASAN Kute dan sekitarnya merupakan daerah wisata di Lombok Tengah. Tahun 1990, PPL dengan masa kontrak 70 tahun (dengan Pemda NTB memegang saham 30 persen) membebaskan tanah guna membangun prasarana dan sarana untuk wisatawan di situ.
Para calo dan broker tanah bermunculan. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme dari oknum pejabat tingkat I NTB dan tingkat II Lombok Tengah tidak terhindarkan. Apalagi dalam LTDC itu ada saham milik Keluarga Cendana.
Pengalihan hak atas tanah (1.250 hektar) dilakukan secara paksa dan tidak luput dari intervensi pejabat teras. Menolak lahan dibebaskan, berarti harus menghadapi berbagai intimidasi yang dilakukan nyaris semua lini pemerintahan.
Intervensi penguasa itu membuat mereka terpaksa melepas tanah, walau dengan harga pembebasan jauh dari standar. Akibatnya para pemilik tanah, petani rumput laut, dan nelayan tergusur dari lahan tambang nafkahnya. Mereka memang sempat berdemonstrasi ke Kantor Gubernur NTB dan DPRD NTB di Mataram, namun hasilnya sia-sia. Yang terjadi adalah proses pemiskinan, dan itulah setting sosial wayang Arup.
***
KAPAN wayang dikenal di Lombok, belum diketahui pasti. Sumber yang ada sebatas mitologi. Alkisah pada abad XIV-XV, terjadi kemarau panjang selama tujuh tahun. Pohon meranggas, rumput mengering, tanah sawah gersang dan merekah dibakar terik kemarau. Keadaan berubah tatkala muncul seorang lelaki berpakaian serba putih yang dalam mitologi disebut Raden Sangupati, yang kemudian membagi-bagikan obat-obatan pada penduduk.
Itu terjadi setelah penduduk mengucapkan Kalimah Syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Tetapi, dari telusur pustaka, ada pula yang mengatakan, wayang di Lombok konon sudah ada sebelum Sunan Prapen datang menyiarkan Islam tahun 884 Hijriah/1464 M ke sana.
Ilustrasi itu setidaknya menggambarkan bahwa wayang merupakan kesenian rakyat yang telah dikenal luas di Lombok. Sejumlah tulisan menyebut-kan bahwa sumber cerita wayang Sasak dari Serat Menak, yang juga dipakai dalam wayang golek. Sedang wayang Jawa dan Bali umumnya memakai Mahabharata dan Ramayana sebagai sumber cerita.
Lakon wayang Sasak biasanya ber-nuansa Islam, seperti Kelampan Yunan, Bangbangri, Jenglengge, Kabar Sundari, Gendit Birayung, dan lain-lain. Ini diperkuat oleh para tokohnya (wayang kanan) seperti Amir Hamzah atau populer disebut Wong Menak. Di masa lampau, wayang merupakan media dakwah dan hiburan, meski dalam perkembangannya berfungsi sebagai sarana hiburan, penyuluhan. Juga untuk meramaikan hajatan seperti acara sunatan, pesta perkawinan, membayar kaul, dan semacamnya.
Bila penonton wayang Jawa menyaksikan pagelaran dari arah belakang dalang dan grup penabuh, maka penonton wayang sasak berhadapan dengan ranggon (panggung). Bagian depan ranggon terdapat kelir (layar), dan labakan atau lampu.
Jumlah wayang Sasak tidak kurang dari 400 lembar (terbuat dari kulit binatang). Pementasannya diperkuat dua orang pengabih, yang membantu mengambil wayang yang akan dan sudah dimainkan. Ada tujuh penabuh yang memainkan instrumen suling, gendang (lanang-wadon), rincik (alat ritmik), kempul, kenot, dan kajar (sejenis reong).
***
RUP tidak mesti mengubah total tata cara pertunjukan wayangnya. Walau harus memainkan kelampan demo, ia tetap menyampaikan pengaksema-semacam ucapan perkenalan (pendahuluan), sekaligus mengutarakan kelampan dengan bahasa Jawa Madya.
Dalam pengaksema inilah disampaikan kelampan yang dipilih: wayang tradisi ataukah cerita aktual semacam kelampan demo tadi. Tidak jarang kelampan bisa diganti di tengah jalan. “Saya sedang memainkan kelampan Junglengge, penonton berteriak supaya diganti dengan kelampan demo,” ujar Arup. Penonton pun bengak-bengok manakala jalan cerita dinilai kurang pas, dan Arup menanggapinya untuk meluruskan jalan cerita versi penonton.
Dialog demikian tidak ditemukan dalam wayang tradisi, dan di sinilah kekuatan Arup berkesenian. “Wayang adalah media komunikasi antara dalang dan penonton. Bila terjadi komunikasi antarkedua pihak, maka pesan yang disampaikan dalang nyambung dengan khalayak penonton. Adanya dialog inilah satu wujud berkesenian,” Ida Wayan Pasha, pemerhati Budaya Sasak Lombok, mengomentari kiprah Arup.
Penampilan grup wayang Arup dan kawan-kawan terkesan memprihatinkan. Kenot dan kajar bukanlah terbuat dari bahan kuningan dan logam, melainkan hanya sebuah piring makan berbahan seng yang tiap kali pentas bisa dipinjam pada tuan rumah (pengundang).
Kempol (gong)-nya terbuat dari bagian penutup drum bekas, yang dipakai buruh tani merontokkan padi (ngerampek). Wayangnya, yang berjumlah sekitar 70 lembar berupa kardus dan bungkus (pak) rokok dibuat dan disunggingnya sendiri dengan pisau yang biasa digunakan meraut bambu. Wayang itu lalu dicat agar menjadi keras.
Arup agak lega karena telah memiliki kelir cukup bagus sumbangan sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat. Kelir yang digunakan semula adalah kain sprei layak pakai yang beberapa bagiannya harus ditambal karena sudah bolong.
Selain tokoh-tokoh wayang tradisi, Arup juga memiliki tokoh imajiner yang dibuatnya sendiri seperti tokoh Gubernur NTB, Ketua DPRD NTB, Ketua BP7, kelompok demonstran, sosok polisi, tentara, Kantor Gubernur NTB dan DPRD NTB, para tokoh LSM, di samping Inaq Maryam, Inaq Janum, Amaq Mai, dan sejenisnya.
Arup, ayah seorang anak ini, agaknya tanpa disadari tampil sebagai “pembaru” dalam seni pewayangan Sasak Lombok. Bukan saja karena dia termasuk korban dari proses marginalisasi, melainkan juga idealismenya yang mendorongnya berontak. Darah seni membuatnya lebih peka melihat proses peminggiran rakyat akibat pembangunan.
Arup yang nyaris buta huruf latin, tidak bisa menulis-membaca huruf Jejawan (turunan Hanacaraka), dan dengan peralatan serba amat sederhana, bisa berbuat sesuatu bagi kesenian.
Sumber : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar