Minggu, 10 Februari 2008

Kawanku ’MOSOT’

Seorang laki-laki kurus dengan ekpresi wajah yang keras, menunjukkan betapa ia seorang yang berhati karang. Selembar surat diterima dari ibunya yang renta dan tinggal sendiri di sebuah dasan kawasan perbukitan diperbatasan desa nun di Lombok Timur sana.

Telah lebih dari 30 tahun ia habiskan waktu, harta dan kesehatan jiwa raganya di perantauan. Ia tinggal di kamar yang sama sejak tiba di kota Jogjakarta. Sekali sebulan aku datang berkunjung untuk menasihati dia agar berusaha mengubah perilakunya yang menyia-nyiakan harta orang tuanya.

Kali itu, ketika aku datang, ia tak dapat sembunyikan perasaan terharunya. Aku pura-pura tak peduli. Aku sodorkan koran yang baru saja kubeli di pengasong jalanan dan kami membaca di kamarnya yang sempit. Aku menyebut tempat kosnya sebagai kuburan karena penghuninya orang mati. Mati hati dan kreatifitasnya.

Kami berasal dari daerah yang sama dan sekolah di 2 SMA yang sama. Bedanya aku pindah ke Mataram sedang dia pindah ke Selong. Kami bertukar sekolahan. Hari itu kami membuat pelecing kangkung dan rarit ( bukan kambut!). Pedasnya minta ampun. Aku benar-benar kalang kabut karena 25 tahun aku tak makan sepedas itu. Aku telah beradaptasi dengan gudeg dan makanan Jogja lainnya.

Temanku ini, tak pernah sungguh-sungguh beradaptasi dengan lingkungan. Makanannya tetap Sasak. Bahasa Jawanya tidak karuan. Setelah makan ia sodorkan surat ibunya kepadaku, ia merasa diriku adalah saudaranya, dan aku sudah tak beribu cukup lama. Aku membacanya seolah surat dari ibuku sendiri.

Surat itu adalah himbauan kepada putra yang dikasihinya:
”Anakku sayang, aku tak ingin menganggumu, tapi waktu telah habis, Bapakmu telah mati, aku sudah renta”

Aku berehenti sejenak, karena napasku tercekat ditenggorokan. Kulihat kawanku menerawang langit-langit. ”Anakku, segeralah kau pulang, ladang kita tak tak ada yang urus, santren kita tak lagi hidup dengan pengajian anak-anak”.

Aku tak lagi meneruskan membaca harapan sang ibu, karena aku mulai marah pada kawanku itu. Aku katakan padanya bahwa dia adalah pengecut yang paling buruk unutk jadi contoh bagi anak-anak di desa kami.

Bagaimana tidak? Kawanku ini tak beridentitas. Aku mebentaknya dengan keras. Kamu ini apa sih? Ku katakan mahasiswa, kau tak pernah belajar! Ku katakan Muslim, kau tidak sembahyang! Ku katakan Orang Sasak, kaupun tak tahu adat! Dia hanya membisu seperti biasanya. Dasar batu!

Sampai setua itu dia tetap memilih hidup membujang ( mosot). Jadi apa gunanya dia ada di dunia ini? Aku terpaksa dengan keras mengusirnya, agar dia pulang ke desa kami untuk dapat mengabdi disana. Aku yakin di desa kami masih banyak orang seusia dia atau tetua desa yang disegani. Semoga dia dapat berubah.

Kesultanan Jogja telah banyak mencetak cendekiawan Sasak, tapi banyak lagi yang hanya jadi katak dalam tempurung. Niat tidak bulat dan ketika berangkat dari Lembar atau Rembiga banyak yang lupa berempak (menghentakkan kaki) 3 kali dan bersumpah untuk tidak menengok ke belakang.

Kurang makan sedikit, mental jadi rapuh. Tidak punya uang semangat melayang. Demiakian keadaan semeton jari di perantauan. Hanya sedikit yang berhasil karena doa dan kerja keras.

Bebarapa minggu yang lalu aku menerima SMS dari kawanku itu, bahwa dia bekerja untuk sebuah yayasan kemanusian dan pendidikan di desa kami. Dengan rasa haru aku panjatkan rasa syukurku pada Allah bahwa sahabatku yang lebih keras dari batu itu dapat juga berbuat sesuatu. Mosot …mosot sudah capek jadi datu muter baru sadar! Tapi masih ada waktu panjang…

Jogjakarta 9 feb.2008
Hazairin R. JUNEP

Sumber : www.sasak.org


0 komentar:

Advertise

Get paid To Promote at any Location
 
Website ini dikelola oleh: Terune Sasak  |    Content by : MusiM