Well, banyak nostalgia yang lantas kembali menyeruak di kepala saya tatkala mengingat sarana transportasi yang satu ini. Kami orang sasak, mengenalnya dengan nama Cidomo (orang Desa Teros : Cimodok). Kependekan dari Cikar, Dokar dan Montor(montor==mobil). Tenaga yang dihasilkan mesinnya setara dengan 1 HP (Horse Power), hehe just bejorak meton :mrgreen: , kendaraan ini memang ditarik satu ekor kuda laiknya dokar. Rodanya diambil dari bekas roda montor, assembly-nya mirip dengan cikar (gerobak) yang diberi atap. That's where the name came from, SITMTP (Silak Ingetang Tiang Mun Tiang Pelih).
The Look
Kendaraan ini didesain untuk satu kusir dan 5 penumpang (6 seaters). Namun seperti angkutan umum lainnya, bila anda cukup punya nyali dan merasa kudanya cukup sehat dan kuat untuk tambahan beban, anda dapat menambah satu seat dengan bergelantungan di belakang, atau dua lagi di samping. Kudanya diberikan "kacamata" khusus agar pandangannya selalu ke depan, agar tidak terganggu dengan kuda-kuda lain yang mungkin sedang berpose di pinggir jalan. Kusirnya mengendalikan kuda dengan voice command (herr, hek, ck, heiyya, dam dam) ditambah bantuan senjata yang biasa dipakai para sadokis dan kita biasa kenal dengan nama pecut. Bagaimana dengan klakson? Alat sederhana berbentuk terompet mini dengan pangkal yang bisa diremas untuk memompa udara, mirip pemompa asi :D. Lampu? Hehehe, entah kalau ada bengkel modifikasi cidomo yang menyediakan lampu, saya tidak begitu ingat. Yang saya ingat adalah saya pernah hampir menabrak cidomo dengan sepeda motor karena waktu malam hari dan cidomonya tidak memakai lampu - Cidomo jarang yang beroperasi malam hari -. Kalau Spion? Untungnya Cidomo punya paket spion lengkap, kiri, kanan dan belakang, ini jelas sebagai kompensasi karena kudanya sendiri diberikan "kacamata" khusus tadi.
The Experience
Dulu semasa masih kanak-kanak, menaiki cidomo adalah pengalaman yang menarik. Nggak ada rem, nggak ada gas, apalagi gigi dan kopling :). Maju, mundur dan berhentinya kendaraan ini benar-benar bergantung pada keterampilan pak kusir yang mengendalikan kuda (dan tentunya mood si kuda :D). Jika kebetulan menaiki cidomo dengan kuda yang masih "muda" dan agak "binal", kita akan mendapatkan perjalanan yang cukup memacu adrenalin, apalagi bila ditambah dengan kondisi jalan yang memang tidak rata, kusir yang juga sebinal kudanya, dan posisi duduk di samping kusir -hanya saja dari posisi ini bau pup kuda dapat tercium jelas, tapi saya jamin ini lebih sehat dari asap knalpot, atau rokok kusirnya-. Kami biasa menaiki cidomo untuk pergi ke pasar, sawah, dan bahkan pantai. Saat itu angkutan umum (biasa kami sebut mikrolet) masih cukup jarang, sepeda motor pun masih dimonopoli oleh orang-orang berada (in contrast to these days, where you can get a two wheelers credit for only 300K down payment).
The P(up)roblem
Masalah utama yang timbul dengan penggunaan cidomo tidak jauh-jauh dari polusi tah* kuda. Namun karena polusinya masih bersifat organik, yang terserang hanya mata dan hidung. Cidomo tidak ikut berperan dalam pelubangan ozon dan mencairnya es di kutub (Al Gore dan rekan-rekan di Greenpeace pasti menyukai alat tranportasi ini). Dan mungkin dengan inovasi kantung pup yang benar, masalah ini akan bisa teratasi (ine tantangan jok para inovator sasak). Ada lagi yang bilang kalau cidomo itu susah diatur di jalan raya, kalau ini tentunya "cuma" masalah penegakan hukum. Kalau para aparat tidak takut menilang kusir (atau kuda?) yang nakal, kemungkinan besar masalah ini akan bisa diatasi.
Now & Future
Saat ini di beberapa lokasi posisi cidomo masih tidak tergantikan sebagai alat transportasi di sentra ekonomi rakyat. Di Lombok Timur misalnya, meski tidak sebanyak dulu, pasar-pasar masih dipenuhi oleh angkutan yang satu ini. Tampaknya rute angkutan umum yang tidak bertambah sejak tahun 80an berperan besar pada pelestarian angkutan ini. Mungkin hanya ojek sepeda motor yang belakangan mampu tumbuh menjadi pesaingnya, dan secara kapasitas payload (penumpang+bagasi, duh kayak pesawat saja) tentunya cidomo masih menang dibandingkan ojek. Sampai kapan angkutan ini eksis? Entah, lambat laun, disukai atau tidak angkutan ini akan menghilang. Mungkin hanya akan tersisa di museum, atau dengan skenario yang lebih baik, hanya tersedia untuk keperluan wisata, laiknya delman atau andong di beberapa lokasi pariwisata di pulau jawa (wien)
Sumber: www.sasak.org
The Look
Kendaraan ini didesain untuk satu kusir dan 5 penumpang (6 seaters). Namun seperti angkutan umum lainnya, bila anda cukup punya nyali dan merasa kudanya cukup sehat dan kuat untuk tambahan beban, anda dapat menambah satu seat dengan bergelantungan di belakang, atau dua lagi di samping. Kudanya diberikan "kacamata" khusus agar pandangannya selalu ke depan, agar tidak terganggu dengan kuda-kuda lain yang mungkin sedang berpose di pinggir jalan. Kusirnya mengendalikan kuda dengan voice command (herr, hek, ck, heiyya, dam dam) ditambah bantuan senjata yang biasa dipakai para sadokis dan kita biasa kenal dengan nama pecut. Bagaimana dengan klakson? Alat sederhana berbentuk terompet mini dengan pangkal yang bisa diremas untuk memompa udara, mirip pemompa asi :D. Lampu? Hehehe, entah kalau ada bengkel modifikasi cidomo yang menyediakan lampu, saya tidak begitu ingat. Yang saya ingat adalah saya pernah hampir menabrak cidomo dengan sepeda motor karena waktu malam hari dan cidomonya tidak memakai lampu - Cidomo jarang yang beroperasi malam hari -. Kalau Spion? Untungnya Cidomo punya paket spion lengkap, kiri, kanan dan belakang, ini jelas sebagai kompensasi karena kudanya sendiri diberikan "kacamata" khusus tadi.
The Experience
Dulu semasa masih kanak-kanak, menaiki cidomo adalah pengalaman yang menarik. Nggak ada rem, nggak ada gas, apalagi gigi dan kopling :). Maju, mundur dan berhentinya kendaraan ini benar-benar bergantung pada keterampilan pak kusir yang mengendalikan kuda (dan tentunya mood si kuda :D). Jika kebetulan menaiki cidomo dengan kuda yang masih "muda" dan agak "binal", kita akan mendapatkan perjalanan yang cukup memacu adrenalin, apalagi bila ditambah dengan kondisi jalan yang memang tidak rata, kusir yang juga sebinal kudanya, dan posisi duduk di samping kusir -hanya saja dari posisi ini bau pup kuda dapat tercium jelas, tapi saya jamin ini lebih sehat dari asap knalpot, atau rokok kusirnya-. Kami biasa menaiki cidomo untuk pergi ke pasar, sawah, dan bahkan pantai. Saat itu angkutan umum (biasa kami sebut mikrolet) masih cukup jarang, sepeda motor pun masih dimonopoli oleh orang-orang berada (in contrast to these days, where you can get a two wheelers credit for only 300K down payment).
The P(up)roblem
Masalah utama yang timbul dengan penggunaan cidomo tidak jauh-jauh dari polusi tah* kuda. Namun karena polusinya masih bersifat organik, yang terserang hanya mata dan hidung. Cidomo tidak ikut berperan dalam pelubangan ozon dan mencairnya es di kutub (Al Gore dan rekan-rekan di Greenpeace pasti menyukai alat tranportasi ini). Dan mungkin dengan inovasi kantung pup yang benar, masalah ini akan bisa teratasi (ine tantangan jok para inovator sasak). Ada lagi yang bilang kalau cidomo itu susah diatur di jalan raya, kalau ini tentunya "cuma" masalah penegakan hukum. Kalau para aparat tidak takut menilang kusir (atau kuda?) yang nakal, kemungkinan besar masalah ini akan bisa diatasi.
Now & Future
Saat ini di beberapa lokasi posisi cidomo masih tidak tergantikan sebagai alat transportasi di sentra ekonomi rakyat. Di Lombok Timur misalnya, meski tidak sebanyak dulu, pasar-pasar masih dipenuhi oleh angkutan yang satu ini. Tampaknya rute angkutan umum yang tidak bertambah sejak tahun 80an berperan besar pada pelestarian angkutan ini. Mungkin hanya ojek sepeda motor yang belakangan mampu tumbuh menjadi pesaingnya, dan secara kapasitas payload (penumpang+bagasi, duh kayak pesawat saja) tentunya cidomo masih menang dibandingkan ojek. Sampai kapan angkutan ini eksis? Entah, lambat laun, disukai atau tidak angkutan ini akan menghilang. Mungkin hanya akan tersisa di museum, atau dengan skenario yang lebih baik, hanya tersedia untuk keperluan wisata, laiknya delman atau andong di beberapa lokasi pariwisata di pulau jawa (wien)
Sumber: www.sasak.org
0 komentar:
Posting Komentar